Doa Ratu Surga

Doa ini diucapkan pada pagi (pukul 06.00), siang (jam 12.00), dan petang (pukul 18.00) menggantikan Doa Malaikat Tuhan selama Masa Paskah.


Sumber: Puji syukur no 16 | Konferensi Wali Gereja Indonesia
baca selengkapnya...

Doa Malaikat Tuhan

Dulu umat Katolik amat rajin mendoakan doa Malaikat Tuhan tersebut 3 x sehari pada pagi (pkl. 06.00), siang (pkl. 12.00), dan petang (pkl. 18.00). Ketika hari mulai merekah di pagi hari, ketika hari sedang mencapai puncaknya di siang hari, dan ketika hari hendak berangkat menuju malam, dulu lonceng-lonceng gereja dibunyikan, dan umat pun mendoakan doa Malaikat Tuhan. Sekarang tanpa lonceng gereja, kiranya kita masih bisa mendoakannya setiap kita menengok arloji kita yang sedang menunjukkan pukul 06.00 pagi, 12.00 siang, atau pukul 18.00 petang.

Dengan doa itu, kita diajak untuk selalu sadar, bahwa Tuhan menjadi manusia, artinya Ia menjadi salah satu dari diri kita. Sepanjang waktu Dia hadir dan berada di sisi kita. Karena itu di tengah kesibukan apa pun, dan di tengah tenggelamnya kita dalam masalah-masalah kerja dan tugas hidup kita sehari-hari, Tuhan selalu datang, mencintai dan menebus kita. Maka kita tidak hilang dalam kesibukan dan beban kita. Kita tidak usah takut, gemetar dan khawatir, karena Tuhan sungguh beserta kita. CintaNya menggendong dan menanggung kita. Itulah inti sari dari doa Malaikat Tuhan. Karena itu kalau kita mendoakannya, kita pun akan dikuatkanNya selalu, kendati kita merasa lelah, hilang dan terbenam dalam pekerjaan dan tugas kita.

Makna doa Malaikat Tuhan itu dilukiskan dengan amat indah dan bagus oleh pelukis Perancis abad ke-19, Jean Francois Millet dalam karyanya "L'angelus", yang kini tersimpan dalam museum Gare d'Orsay di kota Paris. Dalam karyanya itu digambarkan, seorang lelaki dan perempuan yang sejenak undur dari kerjanya di ladang kentang, ketika mereka mendengar lonceng gereja berbunyi pada siang hari. Mereka berhenti dan berdiri dalam sikap doa, mendoakan doa Malaikat Tuhan.

Pelukis Millet berasal dari lingkungan petani. Maklum jika lingkungan pertanian dan pedesaan menjadi latar belakang bagi lukisannya. Para pengamat mengatakan, betapa kedua petani, lelaki dan perempuan itu, terangkat dalam keindahan, karena mereka sedang berdoa. Mereka menyadari kehadiran Allah, PenciptaNya, dalam ladang dan pekerjaan mereka.

Kehadiran dan kedatangan Allah, kerelaan Allah untuk menjadi manusia seperti mereka, itu semua mereka rasakan dan sadari, ketika sejenak mereka menghentikan kerjanya di ladang kentang, lalu hening mendoakan doa Malaikat Tuhan. Karena doa itu, ada suatu harkat dan sinar yang memancar dari petani-petani yagn sederhana itu. Mereka menjadi indah. Memang inilah yang hendak disampaikan oleh pelukis Millet: Doa itu membuat indah.

Doa Malaikat Tuhan kiranya boleh disebut sebagai praktek yang paling nyata dari agama.  Karena menurut teolog terkenal Johann Baptist Metz, seperti dikutip oleh penulis Hubert Streckert, "Definisi terpendek dari agama adalah Unterbrechung."  "Unterbrechung" artinya adalah "sejenak berhenti dari kegiatan kita."  Karena kita beragama, maka kita diajak untuk sejenak mundur, mengambil jarak dari segala kesibukan dan kepadatan agenda kita.  Kita mundur untuk kembali ke dalam, merasakan misteri yang mengalir dalam hidup, tugas, dan kerja kita, yaitu merasakan bahwa Allah sungguh datang dan menebus kita, membuat hidup kita bermartabat dan indah.

Karena itu, kendati lonceng gereja tak lagi kita dengar, marilah kita berhenti sejenak, setiap pkl. 06.00 pagi, pkl. 12.00 siang, dan pkl. 18.00 petang, untuk mendoakan doa Malaikat Tuhan. Kiranya, dengan doa yang pendek dan sederhana itu, kita akan dikuatkan, diteguhkan, dan dihibur oleh Tuhan sendiri, di saat kita merasa begitu jenuh, capai dan bosan dengan hidup dan pekerjaan kita sehari-hari. (Romo Gabriel Possenti Sindhunata, SJ)

ps: pada Masa Paskah, Doa Malaikat Tuhan atau Doa Angelus ini digantikan oleh Doa Ratu Surga.

Sumber: Majalah Utusan No. 02, Tahun ke-61, Februari 2011 | www.trinitas.or.id/artikel/romo-menyapa/1411-doa-malaikat-tuhan.html
baca selengkapnya...

Passio Yesus Kristus

Passio berasal dari bahasa Latin “patior” yang artinya “sengsara”. Passio Yesus Kristus menunjuk pada sengsara yang diderita Kristus demi menebus umat manusia, berawal dari sakrat maut di Taman Getsemani hingga wafat-Nya di Kalvari. Kisah-kisah Sengsara dalam Injil menceritakan detail sengsara Kristus, dan setidaknya sampai batas tertentu, kisah-kisah tersebut sesuai dengan tulisan para ahli sejarah Romawi masa itu - Tacitus, Seutonius dan Pliny Muda. Penemuan-penemuan arkeologi yang dipadukan dengan penelitian-penelitian menggunakan ilmu kedokteran modern menghasilkan gambaran yang akurat akan apa yang diderita Kristus. Dalam abad di mana salib biasa digambarkan dengan Yesus “yang telah bangkit” dan “sengsara” serta “korban” telah menjadi istilah-istilah yang tidak disukai, hendaknya kita tidak kehilangan pandangan akan kenyataan passio.

Setelah Perjamuan Terakhir, Yesus pergi ke Taman Getsemani di Bukit Zaitun. Kristus berdoa, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42). Yesus sadar sepenuhnya akan penderitaan yang Ia hadapi. Ia berdoa demikian khusuk hingga “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” (Luk 22:44).

Ilmu kedokteran membuktikan bahwa orang dapat mengeluarkan keringat darah jika ia berada dalam keadaan emosional yang sangat tinggi (suatu kondisi yang disebut hematidrosis atau hemohidrosis), yang mengakibatkan pendarahan lewat kelenjar-kelenjar keringat. Tak heran jika Bapa mengutus seorang malaikat untuk menguatkan-Nya (Luk 22:43).

Kristus kemudian ditangkap dan diadili di hadapan Mahkamah Agama yang dipimpin oleh Imam Besar Kayafas. Menjawab pertanyaan mereka, Yesus memaklumkan, “Kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” (Mat 26:64). Karena pernyataan-Nya itu, Ia dijatuhi hukuman mati karena menghujat Allah, dan kemudian wajah-Nya diludahi, ditampar dan diolok-olok. Mahkamah Agama dapat menjatuhkan hukuman mati kepada Kristus, namun demikian mereka tidak memiliki wewenang untuk melaksanakannya; hanya Pontius Pilatus, Gubernur Romawi, yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan hukuman mati.

Sebab itu, pemimpin-pemimpin Yahudi membawa Yesus kepada Pilatus. Perhatikan bagaimana dakwaan sekonyong-konyong berubah; para pemimpin Yahudi mengatakan kepada Pilatus, “Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja.” (Luk 23:2). Bagaimana dengan dakwaan menghujat Allah? Pilatus tidak peduli apakah Yesus ingin menjadi seorang mesias, nabi, ataupun seorang pemimpin agama; tetapi, jika Yesus ingin menjadi seorang raja, Ia merupakan ancaman bagi kekuasaan Kaisar. Segala bentuk pemberontakan, pengkhianatan, atau subversi harus segera dijatuhi hukuman yang kejam. Jadi, Pilatus bertanya, “Engkaukah raja orang Yahudi?” (Luk 23:3)

Pilatus tidak menemukan bukti yang meyakinkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. Pilatus menantang para imam, tua-tua, dan rakyat, “Kamu lihat sendiri bahwa aku telah memeriksa-Nya, dan dari kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya.” (Luk 23:14). Ketika mencoba menawarkan untuk membebaskan seorang tahanan, Pilatus bertanya kepada orang banyak tentang Yesus, “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahanpun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati.” (Luk 23:22). Bahkan isteri Pilatus memohon kepadanya untuk tidak mencampuri perkara “orang benar” itu (Mat 27:19).

Pilatus kemudian memerintahkan agar Yesus disesah (Yoh 19:1). Orang Romawi mempergunakan cambuk pendek (flagrum atau flagellum) dengan beberapa tali kulit tunggal atau tali kulit berjalin. Bola-bola besi atau kait-kait terbuat dari tulang atau kerang disisipkan dengan jarak bervariasi sepanjang tali kulit dan pada ujung-ujungnya. Korban dilucuti pakaiannya dan didera sepanjang punggung, pantat dan kaki-kakinya. Cambuk merobek kulit dan menghujam hingga otot-otot terdalam; daging terkoyak-koyak bersimbah darah. Korban berada di ambang batas shock; dari banyaknya darah yang tercurah dapat diperkirakan berapa lama korban akan sanggup bertahan di salib. Untuk memperhebat penyiksaan terhadap Kristus, para serdadu menambahkan bentuk aniaya yang lain: memahkotai-Nya dengan duri, mengenakan jubah ungu pada tubuh-Nya, menempatkan sebatang buluh di tangan kanan-Nya, meludahi wajah-Nya, dan mengolok-olok Dia, “Salam, hai Raja orang Yahudi!” (Mat 27:27-31).

Setelah Yesus disesah, Pilatus sekali lagi menampilkan Kristus ke hadapan orang banyak yang berteriak-teriak, “Salibkan Dia, salibkan Dia!” Takut akan timbul pemberontakan, Pilatus menyerah dan memberikan Yesus untuk disalibkan. Bangsa Romawi memiliki hukuman penyaliban yang telah dirancang begitu rupa, hukuman salib sendiri kemungkinan berasal dari Persia, agar mengakibatkan kematian secara perlahan-lahan dengan tingkat kesakitan paling dahsyat. Penyaliban diperuntukkan bagi penjahat-penjahat yang paling berbahaya. Hukuman penyaliban begitu ngeri dan keji hingga Cicero (wafat tahun 43 SM) menetapkan undang-undang dalam Dewan Romawi yang mengecualikan warga Romawi dari hukuman ini; itulah sebabnya mengapa St. Paulus dipenggal kepalanya dan bukannya disalibkan karena menjadi seorang Kristen.

Korban diwajibkan memanggul sendiri salibnya agar pertahanan tubuhnya semakin melemah. Karena keseluruhan salib beratnya sekitar 300 pounds (± 136 kg), biasanya ia memanggul hanya balok horisontalnya saja (patibulum) (75-125 pounds = ± 34-57 kg) ke tempat pelaksanaan hukuman mati di mana balok vertikal (stipes) telah dipersiapkan. Sepasukan pengawal militer yang dipimpin seorang kepala pasukan memimpin arak-arakan. Seorang prajurit membawa titulus di mana ditulis nama si terhukum dan kejahatan yang dilakukannya, titulus itu nantinya akan dipasang pada salib (Mat 27:37). Dalam kasus Yesus, jalan yang harus ditempuh dari praetorium menuju Golgota berjarak sekitar sepertiga mil (± 0,54 km). Yesus begitu lemah hingga Simon dari Kirene dipaksa untuk membantu-Nya (Mat 27:32).

Setibanya di tempat pelaksanaan hukuman mati, hukum menetapkan agar korban diberi minum anggur pahit bercampur empedu untuk membantu menahan sakit (Mat 27:34). Korban kemudian dilucuti pakaiannya (kecuali jika hal ini telah terjadi sebelumnya). Tangan-tangan-Nya direntangkan di atas patibulum dan diikat atau dipaku, atau diikat dan dipaku. Bukti arkeologi mengungkapkan bahwa paku-paku yang dipergunakan berupa besi berujung runcing. Paku-paku tersebut panjangnya kurang lebih tujuh inci (± 18 cm) dengan gagang persegi kurang lebih 3/8 inci (± 95 mm). Paku-paku dipalukan menembusi pergelangan tangan antara tulang lengan dan tulang hasta agar dapat menyangga berat tubuh korban. Patibulum dipasangkan ke stipes, kemudian kaki korban diikat atau dipakukan langsung ke stipes atau ke tempat tumpuan kaki (suppedaneum).

Sementara korban tergantung di kayu salib, orang banyak biasa menyiksanya dengan olok-olok dan makian (bdk Mat 27:39-44). Para prajurit Romawi seringkali memaksa keluarga korban untuk menyaksikan untuk menambah penderitaan batin korban. Para prajurit membagi-bagikan pakaian korban sebagai bagian dari ganjaran mereka (Mat 27:35). Korban akan dibiarkan tergantung di kayu salib selama tiga jam bahkan hingga tiga hari. Sementara ia tergantung menderita kesakitan yang hebat, serangga-serangga akan hinggap pada luka-luka yang menganga, atau pada mata, hidung, dan telinga; burung-burung pada gilirannya akan menyambar dan menggerogoti tubuhnya sebagai mangsa mereka. Dengan berbagai macam siksa derita menyatu akibat banyaknya darah yang tercurah, trauma penderaan dan kekurangan cairan, beban tubuh tertarik ke bawah dengan bertumpu pada lengan-lengan yang  terentang dan kedua bahu, sehingga menyesakkan pernapasan. Korban akan mati perlahan-lahan akibat tercekik. Mungkin itulah sebabnya mengapa Yesus berbicara hanya singkat saja dari salib. Jika korban berusaha mengangkat tubuhnya dan bertumpu pada kakinya untuk bernapas, rasa sakit yang luar biasa akan terasa pada luka-luka paku dan luka-luka punggung akibat penderaan. Guna mempercepat kematian, para prajurit akan mematahkan kaki korban (Yoh 19:32-33). Jika tampaknya korban sudah mati, para prajurit akan meyakinkan kematiannya dengan menikam lambungnya dengan tombak atau pedang; dan ketika hati Yesus ditikam, memancarlah darah dan air (cairan dari kantung sekeliling jantung) (Yoh 19:34). Biasanya, mayat dibiarkan di atas salib hingga membusuk atau dimangsa burung atau binatang liar; tetapi, hukum Romawi mengijinkan keluarga kurban mengambil jenasah untuk dimakamkan seijin Gubernur Romawi. Dalam kasus Yesus, Yusuf dari Arimatea meminta jenasah Kristus kepada Pilatus dan Ia kemudian dibaringkan dalam sebuah makam (Yoh 19:38).

Sementara kita merenungkan misteri Pekan Suci yang sakral, patutlah kita mencamkan dalam hati apa yang telah Kristus derita demi keselamatan kita. Ia menyerahkan Diri-Nya Sendiri sebagai korban silih dosa yang sempurna di altar salib dan membasuh dosa-dosa kita dengan Darah-Nya yang kudus. Demikianlah kita wajib menyadari tanggung jawab kita untuk menyesali dan bertobat dari dosa-dosa kita: Katekismus Gereja Katolik (no. 598), dengan mengutip Katekese Romawi kuno menegaskan, “Semua pendosa pun adalah 'penyebab dan pelaksana semua siksa yang [Kristus] derita.' dan “Oleh karena dosa-dosa kita menghantar Kristus Tuhan kita kepada kematian di kayu salib, maka sesungguhnya mereka yang bergelinding dalam dosa dan kebiasaan buruk, 'menyalibkan lagi Anak Allah dan menghina-Nya di muka umum.'” Kristus yang tersalib merupakan bukti nyata kasih-Nya bagi setiap kita. Merenungkan sengsara-Nya akan memperkuat kita dalam menghadapi pencobaan, menggerakkan kita untuk menerima Sakramen Tobat lebih sering, dan menjaga kita agar senantiasa ada di jalan keselamatan. Dengan memeluk Kristus yang tersalib dan salib-Nya, kita menyongsong kemuliaan kebangkitan.

“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
baca selengkapnya...

Paskah 2014 bersama Pondok Damai, Bekasi

Dalam rangka pesta perayaan paskah kali ini kami sepakat untuk merayakannya bersama dengan keluarga besar Panti Asuhan Pondok Damai, Kampung Sawah pada hari Kamis, 1 May 2014. Bersamaan dengan acara ini kami juga sekaligus merayakan pesta nama Santo Pelindung Lingkungan kami, Yohanes Paulus II yang resmi diangkat menjadi Santo oleh Bapa Suci Paus Fransiskus pada hari Minggu, 27 April 2014.

Panti asuhan yang berdiri sejak 2 Mei 1979 dan berlokasi di Jalan Raya Kampung Sawah RT 003 Rw 03 No. 1 Jati Melati Pondok melati-Bekasi ini pada awalnya berdiri karena menanggapi situasi yang terjadi pada umat atau masyarakat yang ada di Kampung Sawah.

YP2 plus Panti Asuhan Pondok Damai

Seperti dikutip dari website www.ursulinindonesia.org, VISI dari komunitas ini adalah:
"Terbentuknya pribadi yang beriman,mandiri,berkualitas dalam kasih persaudaraan kristiani yang dijiwai semangat Santa Angela."

Sedangkan MISI-nya adalah:
  • Menanamkan nilai-nilai religius
  • Mewujudkan kasih Allah, dengan memberi perhatian kepada setiap pribadi
  • Menanamkan nilai-nilai Etika,Moral dan estetika dalam kegiatan sehari-hari
  • Menciptakan suasana belajar dan memotivasi anak agar berhasil dalam study
  • Mengembangkan potensi dan keterampilan pada anak
  • Menumbuhkan kasih persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari
  • Melatih anak untuk menjadi kader yang terlibat dan peduli serta bertanggungjawab dalam tugas

TUJUAN dari didirikannya panti asuhan ini adalah:
  • Memberi kesempatan belajar
  • Melatih anak Mandairi dalam kegiatan keseharian
  • Memberi pertolongan kepada anak agar anak mapu mengenal dirinya sendiri,berkembang dan dapat hidup di tengah masyarakat dengan bekal yang cukup
  • Berusaha menyalurkan mereka setelah tamat SMA (Study lanjut).

Keceriaan anak-anak panti: menyanyi dan menari
Kelas SD - SMP

Sungguh kami semua merasa sangat senang bisa saling berbagi kebahagiaan dan semangat Paskah di Pondok Damai. Di sana kami menyaksikan sukacita dan keceriaan anak-anak panti asuhan yang semuanya anak-anak perempuan dari kecil hingga SMA. Mereka bernyanyi, menari dan bermain musik. Dibalik sukacita mereka tercermin keprihatinan mereka sebagai anak-anak panti asuhan, selain mereka harus mematuhi berbagai macam kegiatan, disiplin waktu dan aturan-aturan ketat yang diterapkan di bawah asuhan dan pengawasan Suster. Tapi memang pengajaran itulah yang membuat mereka menjadi manusia-manusia mandiri yang punya prestasi, semangat, dan pengharapan.

Ibu-ibu YP2, melayani konsumsi

Persembahan dari YP2 untuk anak-anak panti

Semoga saja ini juga menjadi pelajaran dan ukuran perbandingan bagi kami para orangtua dan juga tentunya anak-anak kami yang hidupnya jauh lebih enak, jauh lebih mudah dengan aturan yang jauh lebih longgar. Menimbulkan rasa penuh syukur atas apa yang telah kita peroleh hingga saat ini dan selalu ingat berdoa dan mendoakan mereka yang memerlukan belas kasih Tuhan.


baca selengkapnya...

Perpisahan Pak Pangudiono

Ada pertemuan juga ada perpisahan. Acara perpisahan dengan pak Pang dan juga beberapa anggota lain dari lingkungan YP2, PITC yang kebetulan hampir bersamaan, diadakah di kediaman keluarga bapak Edi Wahyunaryo pada hari Sabtu, 21 Juni 2014. Acara berlangsung sangat meriah dan bapak/ibu yang hadir pun banyak sekali. Makanan, jajanan, minuman berlimpah ruah dan hiburan musik serta acara-acara kami susun sedemikian rupa demi membuat kenangan tak terlupakan untuk pak Pang dan keluarga.

Gaya Ibu-ibu YP2 bernyayi & berjoget
Menyanyi Bersama Pak Pang

Selain itu, kami juga membuat sekilas video cuplikan kutipan-kutipan kesan bapak/ibu khusus mengenai pak Pang.


[video dari Pak Edi]



Bagi yang baru punya kesempatan sebentar bertemu dan mengenal pak Pang pun rasanya seperti sudah pernah mengenal beliau selama puluhan tahun. Bukan karena kebetulan beliau adalah ketua RT atau karena beliau adalah prodiakon atau karena beliau ganteng mempesona :) tapi saya melihat semua itu karena kekuatan "kasih" yang beliau miliki. Dari kasih timbulah kepedulian dan perhatian, kemudian berkembang menjadi keinginan untuk kebersamaan sehingga menjalin kekompakan. Inipun tercermin dari keluarga beliau dan tentunya peran serta ibu Yuli yang bukan hanya sebagai pendamping setia pak Pang, tapi juga contoh seorang ibu yang mempersatukan keluarga. Bukan hanya keluarganya yang dipersatukan, tapi kami keluarga yang lebih besar, yaitu para tetangga dan lingkungan YP2 pada khususnya. Beliau dan keluarganya bukan hanya berkesan bagi lingkungan keluarga katolik di YP2, Paroki Ibu Teresa Cikarang, tapi juga disegani, dihormati, dan dijadikan panutan oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya.

Founder Restoran Bebek Ginyo ini adalah salah satu "trendsetter" di lingkungan YP2, motor penggerak bagi yang lain dan termasuk yang paling peka terhadap lingkungan di antara yang lain. Ide-ide brilian beliau seakan-akan tidak pernah habis dan semangat pengabdian dan pelayanan beliau tidak pernah kendur. Kami merasa sangat termanjakan dengan hadirnya beliau di tengah-tengah kami. Tapi mungkin sudah saatnya beliau berkarya di tempat lain dan membiarkan pengganti-pengganti pak Pang yang baru di sini bermunculan.

Jauh dari kami, tapi masih dekat di hati. Pertemanan dengan bapak-bapak Supraba pun tidak ditinggalkannya dan beliau masih aktif sekali di group whatsapp. Betul-betul "seseorang" yang luar biasa. Terima kasih pak Pang sekali lagi terima kasih, Tuhan memberkati.
baca selengkapnya...
Postingan Lebih Baru Copyright (c) 2015 Lingkungan Yohanes Paulus II, All Rights Reserved